Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati bercerita tentang pentingnya mencatat dan mengamati gempa. Seperti yang dilakukan oleh Jepang, sudah memonitor gempa sejak 1.137 tahun lalu.
Jepang, katanya, selalu menandai dan mencatat urutan setiap aktivitas gempa dengan sangat baik, teliti, runut, dan sistematis. Dan, karena telah menerapkan sistem itu sejak 1.000-an tahun lalu, publik Jepang pun tidak mudah melupakan kejadian bencana.
Bahkan, terus menggali sejarah gempa dan tsunami untuk menata mitigasi bencana yang akan dilakukan. Semua pihak kompak, baik pejabat neagra, ilmuwan, dan publik Jepang, mengamati aktivitas gempa.
“Kami, BMKG, belajar dari Jepang. Kami, di BMKG ini, juga bersama-sama dengan Indian Ocean Tsunami Early Warning and Mitigation System, kami juga menggali sejarah gempa masa lalu,” katanya dalam Webina Waspada Gempa Megathrust yang digelar online oleh Departemen Teknik Geofisika ITS bersama PVMBG, Selasa (20/8/2024),
“Masyarakat di sana sangat kompak. Tujuannya menggali sejarah itu tadi untuk mitigasi. Mereka tidak terus panik, khawatir, terus jadi sibuk. Sibuknya itu bukan sibuk bertindak, tapi malah sibuk berdiskusi, berwacana. Sibuk yang kurang efektif dan produktif. Di sana gali sejarah bukan untuk ketakutan, tapi mengevaluasi mitigasinya,” tambahnya.
BMKG Dipanggil Polisi
Dengan literasi soal gempa – bencana yang sudah dimiliki sejak ratusan tahun lalu, imbuh dia, warga Jepang tidak lagi menjadi publik yang kagetan ketika mendapat informasi soal bencana.
Alhamdulilah, lanjut Dwikorita, di Indonesia, kekompakan itu sudah mulai terbentuk. Terutama sejak gempa dan tsunami menghantam wilayah Aceh pada tahun 2004 silam.
Dia pun bercerita bagaimana informasi mengenai gempa yang disampaikan BMKG pada tahun 2018 lampau sempat membuat heboh. Hingga pihaknya harus dipanggil oleh pihak Kepolisian.
“Tapi untuk menuju ke tidak (tidak heboh, tidak kagetan, tidak gumunan, tidak gaduh) itu harus melalui tahap kaget dulu. Memang harus melalui fase seperti itu, tapi jangan terlalu lama,” ujarnya.
“Pertama kali kami dipanggil Polda nih, seminar tentang ini. Tahun 2018. Karena masyarakat menjadi kaget, gumun, heboh. Karena dianggap meresahkan, kami diinterogasi, dipanggil Polda. Alhamdulillah sekarang kami sudah menjadi erat dengan Polda,” tutur Dwikorita.
Selain publik yang tidak kagetan dan heboh saat merespons informasi mengenai potensi bencana, tambahnya, faktor yang penting adalah transparansi.
“Tidak ada pengingkaran dan selalu belajar. Pengingkaran misalnya, karena, misalnya kita dipanggil Polda, lalu kami mengingkari, ‘Nggak kok, nggak ada megathrust. Itu Hoax’. Nah ini pengingkaran,” sebut Dwikorita.
“Kami kan belajar dari Jepang. Kami katakan memang ada. Tapi kan kami tujuannya bukan untuk kecemasan, ketakutan. Tapi, mari kita sempurnakan mitigasi kita. Dan tekad kuat mewujudkan mitigasi yang konkret. Sadar dengan keyakinan kuat bahwa mitigasi akan menyelamatkan kita,” tegasnya.
Banyak Sumber Gempa di RI, Tak Cuma Megathrust
Dwikorita pun mengingatkan, wilayah Indonesia memang kawasan rawan gempa kuat dan tsunami akibat banyaknya sumber gempa.
“Sumbernya itu tidak hanya megathrust. Jangan dilupakan. Kita sibuk megathrust, patahan yang ada di darat, di bawah kaki kita. Yang ada di Sumatra, di Jawa, di Sulawesi. Patahan-patahan ini juga berbahaya meski magnitudonya tidak mega, hanya 5 koma sekian, faktanya rumah pada roboh. Karena rumah belum standar tahan gempa,” cetusnya.
“BMKG mengkoordinasikan gerakan memetakan patahan aktif, bersama BRIN, perguruan tinggi, yang belum terpetakan,” ujarnya.
Informasi potensi gempa megathrust, lanjutnya, bukan prediksi atau peringatan dini. Karena itu, dia mengimbau agar tidak dimaknai keliru, seolah akan terjadi dalam waktu dekat.
“Kami belum bisa memprediksi gempa, mau megathrust, minithrust. Kami sudah mulai tapi akurasinya belum sehingga tidak kami terapkan. Masyarakat diimbau untuk tetap beraktivitas seperti biasa,” kata Dwikorita.
“Informasi potensi gempa dan tsunami merupakan upaya persiapan untuk mencegah risiko kerugian sosial ekonomi dan korban jiwa. Potensi Gempa dan Tsunami akan selalu ada dan kapan terjadinya tidak dapat diprediksi, sehingga upaya mitigasi tetap harus terus disiapkan,” pungkasnya.