Di tahun 2024, pembicaraan mengenai Raja Jawa mengemuka usai salah satu ketua umum partai menyebutnya saat pidato. Dalam sejarah, Raja Jawa merupakan istilah untuk merujuk kepada sosok penguasa tanah Jawa. Biasanya diberikan kepada orang yang memimpin suatu kerajaan atau kesultanan.
Sejarah memang mengulang dirinya sendiri, termasuk juga kisah Raja Jawa ratusan tahun lalu yang memiliki kemiripan dengan berbagai cerita di panggung politik Indonesia modern.
CNBC Indonesia merangkum beberapa aksi Raja Jawa ratusan tahun lalu. Ada yang ganas. Ada pula yang baik hati dan memberikan teladan.
Amangkurat I, Makin Ganas Usai Pindah ke Istana Baru
Amangkurat I merupakan penguasa Mataram kurun 1646-1677. Sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1999) menyebut, sejak awal berkuasa Amangkurat I sudah menunjukkan cara-cara bengis. Dia sering menghabisi para oposisi, baik di internal Istana atau di daerah.
Salah satu puncak tragedi terjadi ketika dia tinggal di istana baru di kawasan Plered. Istana tersebut berdiri sangat megah. Ricklefs menyebutnya sebagai pesan kegagahan kekuasaan yang ingin ditunjukkan Amangkurat I ke seluruh pelosok kerajaan.
Di sana, dia makin sering menghabisi banyak orang. Banyak orang ketakutan, tapi tidak bisa berontak sebab sangat sulit. Sampai akhirnya, kebiasaan bunuh-membunuh berdampak buruk terhadap kekuasaan Amangkurat I sendiri. Para loyalis dan orang-orang di daerah berbalik arah.
“Kezalimannya telah menyebabkan hancurnya mufakat orang-orang terkemuka […]. Oleh karena itu, para sekutu dan para taklukannya di daerah-daerah terpencil mendapat kesempatan baik untuk melepaskan kesetiaan mereka kepada Amangkurat I,” tulis sejarawan asal Australia itu.
Puncaknya terjadi pada 1677. Kala itu, para loyalis Amangkurat I sudah tak tahan atas kelakuan sang Raja Jawa. Terlebih, Amangkurat I yang sudah beranjak tua terbukti tak bisa membawa kemajuan bagi kerajaan. Maka, mereka pun bergabung dengan para pemberontak.
Sejarawan de Graff dalam Runtuhnya Istana Mataram (1987) menyebut, beralihnya dukungan para loyalis dan pembesar Jawa dari Amangkurat I ke kelompok pemberontak membuat pertahanan Mataram hancur dari dalam.
Alhasil, pada Juni 1677, istana Amangkurat I sukses diambil alih pasukan Madura pimpinan Raden Trunojoyo. Meski begitu, hidup Amangkurat I masih selamat sebab dia sudah lebih dulu kabur dari istana sebulan sebelum istana jebol.
Sebulan kemudian, dia bersama pengawal dan keluarga. Dia pergi ke Imogiri tempat pemakaman raja-raja Mataram terdahulu. Di sana dia mengonsolidasikan kembali kekuatan. Namun, apa daya kekuatannya tak begitu besar.
Dia pergi lagi ke Barat. Kali ini seorang diri. Namun, perjalanannya tak tuntas sebab de Graff menuliskan dia meninggal di tengah jalan, sekitar Wanayasa dan Ajibarang.