Sampai saat ini Presiden Prabowo Subianto belum menerbitkan Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025 yang akan menjadi patokan belanja setiap kementerian/lembaga.
Belum terbitnya Peraturan Presiden tersebut diduga kuat terkait dengan pembentukan sejumlah kementerian/lembaga baru yang membuat Kementerian Keuangan harus merelokasi ulang anggaran belanja setiap kementerian/lembaga dengan tetap mengacu pada pagu APBN 2025.
Beberapa waktu lalu pemerintah telah menerbitkan Struktur Kabinet Organisasi Kementerian Kabinet Merah Putih, di mana perubahan struktur organisasi bukan saja pada kementerian baru yang merupakan pecahan dari kementerian lama, namun juga pada kementerian yang tidak mengalami pemecahan seperti Kementerian Keuangan. Eksistensi Peraturan Presiden tentang rincian APBN TA 2025 sangat penting untuk melihat bagaimana rencana belanja pemerintah ke depan secara detail.
Kementerian Pertahanan mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp 165,1 triliun pada TA 2025 dengan sejumlah porsi akan berada pada pos belanja modal yang merupakan sumber pendanaan untuk pembayaran utang, uang muka bagi kontrak yang dibiayai oleh Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan Pinjaman Dalam Negeri (PDN) dan belanja sistem senjata yang menggunakan Rupiah Murni (RM).
Pembayaran uang muka PLN dan PDN merupakan bagian dari program pengadaan pada MEF 2020-2024 dengan lebih dari 50 kegiatan yang kontraknya belum berstatus aktif.
Sebagai ilustrasi, dengan asumsi nilai uang muka ialah 7,5 persen dari kontrak maka Kementerian Pertahanan pada tahun depan harus membayar uang muka sekitar Rp 1,4 triliun agar kontrak akuisisi dua fregat yang menjadi prioritas Presiden Prabowo Subianto memasuki tahap efektif. Tentu saja masih menjadi tanda tanya berapa besaran pos belanja modal Kementerian Pertahanan pada APBN 2025.
Tahun 2025 akan ditandai pula sebagai tahun pertama pembangunan kekuatan pertahanan jangka waktu 2025-2029 yang diharapkan merupakan kelanjutan dari MEF periode 2020-2029. Disebut kelanjutan sebab Prabowo Subianto yang sebelumnya menteri pertahanan telah menjadi presiden, sementara Sjafrie Sjamsoeddin yang merupakan salah satu orang kepercayaan Prabowo Subianto dipercaya menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Meskipun Prabowo Subianto tidak akan mengurus portofolio Kementerian Pertahanan secara langsung, akan tetapi dapat dipastikan bahwa presiden akan terlibat secara tidak langsung dalam program pengadaan sistem senjata. Keterlibatan presiden didasarkan pada aspek legal di mana kontrak belanja sistem senjata dengan nilai Rp 1 triliun ke atas harus sepengetahuan presiden.
Terkait dengan pembangunan kekuatan pertahanan kurun masa 2025-2029, terdapat sejumlah hal yang menjadi tantangan dalam mewujudkan rencana belanja sistem senjata sampai akhir dekade ini. Hal-hal tersebut merupakan gabungan dari faktor eksternal dan internal Kementerian Pertahanan di tengah harapan bahwa pemerintah akan mengalokasikan sekitar US$ 25 miliar sampai US$ 35 miliar untuk akuisisi peralatan perang yang memakai skema PLN.
Jika mengacu pada rencana pemerintahan Presiden Joko Widodo, Kementerian Pertahanan mendapatkan alokasi PLN sebesar US$ 55 miliar antara 2020 hingga 2034, di mana US$ 25 miliar telah diberikan pada jangka waktu 2020-2024. Tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh Kementerian Pertahanan terkait dengan program pembangunan kekuatan di era administrasi Presiden Prabowo Subianto adalah sebagai berikut.
Pertama, kondisi politik dan ekonomi global. Situasi politik dan ekonomi global tidak stabil sejak pandemi Covid 19 yang berlangsung dari 2020 sampai 2023, diikuti oleh invasi Rusia terhadap Ukraina pada 24 Februari 2022 dan disusul dengan perang Hamas versus Israel sejak 7 Oktober 2024 berikut turunannya seperti konflik Israel lawan Hizbullah dan Israel – Iran.
Pandemi memunculkan gangguan pada rantai pasok global, termasuk pada industri pertahanan dan dirgantara, yang membuat harga bahan baku dan komoditas naik. Invasi Rusia terhadap Ukraina menimbulkan kenaikan harga pangan global, selain gangguan terhadap pasokan bahan baku untuk industri pertahanan dan dirgantara seperti titanium dan gallium.
Adapun perang di Timur Tengah sejak setahun silam mengakibatkan harga minyak dunia tidak stabil, di samping gangguan terhadap pelayaran niaga di Laut Merah dengan segala implikasi di bidang ekonomi.
Kedua, ruang fiskal pemerintah Indonesia. Di masa politik dan ekonomi global yang tidak stabil, Indonesia menghadapi tekanan fiskal akibat penerimaan negara yang tertekan sementara pemerintah ingin melaksanakan pengeluaran dalam jumlah yang lebih besar guna memenuhi target-target politik hingga 2029.
Dengan Rp 1,3 kuadriliun dari total nilai APBN 2025 sebesar Rp 3,6 kuadriliun dialokasi untuk membayar utang yang jatuh tempo, nilai APBN yang tersisa harus diperebutkan oleh sejumlah kementerian/lembaga untuk mendukung sejumlah program prioritas seperti makan bergizi gratis dan swasembada pangan.
Berdasarkan kondisi ruang fiskal seperti itu, apakah RM yang dialokasikan pada pos belanja modal Kementerian Pertahanan pada tahun-tahun mendatang cukup untuk membiayai kegiatan pengadaan sistem senjata, khususnya yang menggunakan skema PLN dan PDN?
Ketiga, kapasitas produksi industri pertahanan dan dirgantara global. Selain isu pasokan bahan baku yang membuat order backlog yang lebih lama, industri pertahanan dan dirgantara di sejumlah negara Barat kini harus memenuhi pesanan berbagai macam jenis senjata dari anggota NATO sebagai pengganti senjata yang mereka berikan kepada Ukraina, seperti munisi beragam kaliber, rudal anti-tank dan rudal permukaan ke udara.
Diperkirakan hingga akhir dekade ini isu kapasitas produksi masih akan berkesinambungan jika perang di Ukraina terus berkepanjangan, sebab tidak mudah bagi setiap firma pertahanan menaikkan kapasitas produksi tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain.
Pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, terdapat kecenderungan aspirasi agar penyerahan sistem senjata pesanan Indonesia yang dilakukan pada periode 2025-2029 dapat dilaksanakan paling lambat 2029, khususnya sistem senjata yang kompleks dan padat teknologi seperti pesawat tempur, kapal fregat, kapal selam dan rudal.
Keempat, PLN yang murah. Terdapat dua skema pembiayaan PLN untuk belanja pertahanan yaitu Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (LPKE) dan Kreditor Swasta Asing (KSA), di mana Kementerian Keuangan lebih menyukai LPKE dari sisi asuransi dan cakupan resiko.
Yang menjadi masalah ialah sejak MEF 2020-2024 Kementerian Pertahanan banyak mengajukan perubahan skema LPKE ke KSA karena sebagian program pengadaan diarahkan untuk membeli produk Turki di saat inflasi negara tersebut yang selalu di atas 60 persen dan peringkat kredit yang diterbitkan oleh Fitch Ratings, Moody’s dan S&P’s senantiasa tidak tergolong investment grade.
Biaya utang lewat skema KSA menjadi lebih mahal sebab ketiadaan asuransi dari lembaga pemerintah Turki, sehingga pada akhirnya resiko utang yang harus ditanggung oleh Indonesia menjadi lebih mahal daripada menggunakan skema LPKE.