
Berbagai kebijakan baru pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi sorotan, salah satunya terkait Generalized System of Preferences atau GSP.
Brian D. McFeeters, Wakil Presiden Senior dan Direktur Pelaksana Regional di Dewan Bisnis AS-ASEAN, buka suara terkait kemungkinan AS memperbarui sistem preferensi GSP dengan RI.
“Menurut saya, terlalu cepat untuk membicarakan hal itu. Belum sehari Trump dilantik,” kata McFeeters saat ditemui dalam acara Lembaga Fakultas Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI dan Dewan Bisnis AS-ASEAN di Jakarta Pusat, Selasa (21/1/2025).
McFeeters menyebut bahwa orang-orang baru mengetahui kebijakan baru Trump dan siapa saja sosok yang diberikan amanat di dalam kabinetnya sesaat setelah ia dilantik.
“Jadi kita hanya harus melihatnya dengan seksama,” imbuhnya.
GSP merupakan fasilitas berupa penyelesaian bea masuk bagi barang impor senilai 0 persen. Fasilitas ini diberikan khusus kepada negara yang masih masuk sebagai negara berkembang (middle income country) atau negara miskin.
Indonesia sempat menjadi salah satu negara penerima manfaat GSP dan ini berdampak positif terhadap ekspor produk ke AS. Indonesia mendapatkan keuntungan berupa pengenaan bea masuk lebih rendah dibandingkan produk serupa yang dihasilkan oleh negara nonpenerima fasilitas GSP.
Dampak atas pemberlakuan kebijakan tersebut, Indonesia mencatat surplus dagang yang signifikan dengan AS. Misalnya pada kurun waktu 2018 hingga 2022, Indonesia tercatat mengalami surplus perdagangan sebesar US$58 miliar.